Abstrak |
Karir panjang M. Jusuf di bidang militer seperti para old soldiers yang lain, dimulai pada saat revolusi 1945. Adalah Andi Mattalatta yang mengangkat Jusuf menjadi Kapten TRI dan kemudian memerintahkan Jusuf agar kembali ke Sulawesi dengan sejumlah pasukan untuk memperjuangkan kemerdekaan RI di sana. Tetapi dalam perjalanan naik perahu phinisi, mereka kepergok patroli Belanda dan dibawa ke Surabaya. Walaupun sudah mengaku sebagai "pelajar" tetapi Jusuf dan beberapa orang muda lainnya tetap ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Jusuf pernah pula menjadi ajudan Letkol Kahar Muzakkar di Yogyakarta. Pada akhir Desember 1949. Letkol A.J. Mokoginta meminta kepada Komandan Resimen Hasanuddin Mayor Andi Mattalatta agar ia diberi sejumlah perwira untuk dididik menjadi perwira CPM (Corps Polisi Militer) selama tiga bulan. Di antara yang diperintahkan untuk masuk pendidikan CPM di Cimahi adalah Kapten Andi Jusuf, Kapten Haerudin Tasning dan Kapten Maulwi Saelan. Dua perwira yang belakangan disebut tetap berdinas di CPM, sementara Jusuf kemudian sekali kembali menjadi seorang perwira infanteri. Dalam jabatan dan pangkat Kapten CPM, Jusuf dan Saelan ditugaskan ke Bali untuk duduk dalam staf Komisi Militer untuk Indonesia Timur. Pada bulan April 1950, M. Jusuf ditunjuk menjadi Ajudan Panglima TT VII Kolonel A.E. Kawilarang di "betulan". Dalam penugasan inilah Jusuf ikut Makassar. Sebetulnya itu awal dari karir kemiliteran yang penumpasan pemberontakan RMS bersama bosnya yaitu Kolonel Kawilarang di Pulau Seram. Jusuf Jusuf dalam operasi senang mengenang era itu, karena punya hubungan dan pertemanan yang baik dengan Letkol Slamet Ryadi yang gugur di Ambon pada masa itu. Selesai dengan jabatannya itu. Jusuf lalu mendapat penugasan untuk menjadi Kepala Staf RI (Resimen Infanteri) 24 di Manado dan barulah ia ditugaskan di Makassar kembali. Jabatannya adalah Asisten II (Operasi) pada Staf TT VII. Pada tahun 1955, Jusuf dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti Infantery Officer Advanced Course di Fort Benning, Georgia. Wing terjunnya diperoleh ketika ia bersekolah di sana dengan mengikuti Airborne Course yang tujuannya adalah mendidik perwira-perwira di bidang operasi lintas udara: padahal pada tahun 1950, Jusuf dengan pangkat Kapten sudah mengikuti Sekolah Staf dan Komando (SSKAD) di Bandung. Ketika kembali ke Makassar satu tahun kemudian, M. Jusuf diangkat sebagai Kepala KRU (Komando Reserve Umum) dengan pangkat Mayor. Karir militer Jusuf selanjutnya naik secara perlahan seperti dituturkan dalam bab terdahulu, kebanyakan dalam aroma yang berbau intrik dan politik di wilayah Sulawesi Selatan. Seandainya Jusuf tidak ditarik oleh Bung Karno untuk menjadi menteri di Jakarta, apakah karirnya hanya berhenti hingga jabatan Pangdam XIV/Hasanuddin? Seperti diketahui jabatan panglima di luar Jawa ketika itu adalah jabatan "kelas dua" karena pangkatnya tidak akan lebih tinggi dari Brigjen. Tetapi mengingat keberhasilannya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan, dan juga mengingat hubungan baiknya dengan Letjen Achmad Yani (Men/Pangad), maka kemungkinan besar Jusuf akan terus berkembang karirnya di Jakarta dalam jabatan yang lain dan pangkat yang lebih tinggi. Menurut cerita yang diperoleh M. Jusuf Kalla, Men/Pangad Ahmad Yani ketika itu malah sudah siap menugaskan Jusuf untuk posisi yang bagus di Jakarta, tetapi tidak jadi karena Presiden sudah terlebih dahulu menugaskan Jusuf untuk menjadi Menteri, dan itu juga didukung oleh Achmad Yani. Karir militer profesional M. Jusuf memang terhenti di jabatan Pangdam Hasanuddin. Setelah 13 tahun tidak memepergunakan seragam militer pada tahun 1978 Jusuf diangkat untuk menduduki jabatan sebagai Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan. |