Abstrak |
Lembaga-lembaga amil zakat yang ada selama ini, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) juga kurang memperhitungkan dan lebih banyak menyerahkan menjadi gerakan di masyarakat, baik diserahkan secara langsung maupun pembentukan amil adhoc di masjid-masjid atau mushola. Hal ini bisa dipahami, karena dari sisi waktu pengumpulan dan distribusi, zakat fitrah berlangsung begitu cepat, hanya dalam hitungan hari atau bahkan jam. Batasnya adalah akhir ramadan hingga pelaksanaan Salat Idul Fitri. Karenanya, penghitungan yang dijadikan patokan adalah jiwa, bukan harta. Padahal, jika zakat fitrah dapat dikelola dengan baik, tidak menutup kemungkinan, sebuah gerakan sosial zakat selama Ramadan akan menjadi sesuatu yang dahsyat. Bayangkan, dengan penghitungan jiwa, setidaknya zakat fitrah akan dibayarkan oleh sekitar 200 juta jiwa Muslim. Jika satu jiwa membayar 2,5 kg beras dan jika dikonversi per kg beras adalah Rp8 ribu, maka per tahun Zakat Fitrah dapat terkumpul sebesar Rp4 triliun. Akan tetapi, untuk dapat mengelola zakat fitrah secara lebih optimal, tampaknya diperlukan usaha lebih keras, baik dari sisi ijtihad fiqhiyahnya maupun peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Sementara zakat maal memiliki waktu yang relatif lama, yaitu satu tahun (haul). Patokan yang dijadikan dasar hitungan adalah kepemilikan harta. Atas dasar inilah, terdapat ruang yang cukup untuk melakukan perencanaan, pengumpulan dan pendistribusian terkait zakat maal. Dan zakat ini pula yang paling banyak dikelola oleh lembaga-lembaga amil zakat (baik BAZ maupun LAZ). Dari kedua jenis zakat tersebut, bangsa Indonesia memiliki potensi ekonomi yang sangat besar dari penerimaan zakat. |